Feeds RSS
Feeds RSS

Rabu, 09 Juni 2010

Menyikapi Sosial dan Budaya Serta Adat Istiadat di Daerah Papua

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berbicara mengenai sistem sosial, terkandung sistem nilai sosial budaya. Koentjaraningrat (1974:25)1 menganggap nilai sosial budaya sebagai faktor mental yang menentukan perbuatan seseorang atau sekelompok orang di masyarakat. Sistem nilai budaya terdiri dari konsep-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu suatu nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma. Semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai budaya. Semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan, akan berkisar dalam lingkup masalah kehidupan (hakekat hidup), kerja, waktu, alam atau lingkungan hidup dan hubungan dengan sesama manusia.

Perspektif sosial dan budaya merupakan proses perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan pola pikir, gagasan dan ide-ide manusia mengakibatkan terjadinya perbedaan dengan keadaan sebelumnya dengan keadaan yang sedang dihadapi seperti perubahan struktur, fungsi budaya baik dalam wujud penambahan unsur baru atau pengurangan dan penghilangan unsur lama bisa dalam manifestasi kemunduran (regress) dan bisa juga kemajuan (progress).

Masyarakat Papua yang mendiami daerah pesisir lebih terbuka adanya pengaruh dari luar. Sudah sejak lama ujung barat laut Irian dan seluruh pantai utara penduduknya dipengaruhi oleh penduduk dari kepulauan Maluku (Ambon, Ternate, Tidore, Seram dan Key), maka adalah tidak mengherankan apabila suku-suku bangsa disepanjang pesisir pantai (Fak-Fak, Sorong, Manokwari dan Teluk Cenderawasih) lebih pantas digolongkan sebagai Ras Melanesia dari pada Ras Papua. Mengenai kebudayaan penduduk atau kultur masyarakat di Irian Barat dapat dikatakan beraneka ragam, beberapa suku mempunyai kebudayaan yang cukup tinggi dan mengagumkan yaitu suku di Pantai Selatan Irian yang kini lebih dikenal dengan suku “Asmat” kelompok suku ini terkenal karena memilki segi ukir dan tari. Ciri atau karakteristik kesenian asli suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa dipengaruhi oleh lingkungan alam dimana kelompok tersebut bermukim dan juga migrasi. Khusus untuk ciri kesenian papua ciri dan karakteristiknya sesuai dengan alam yang ada di Papua. Setiap suku bangsa mempunyai unsur kesenian namun unsur kesenian setiap bangsa tidak sama, sesuai dengan kondisi alam dimana suku itu bermukim. Karena seni adalah peniruan alam dan bermacam bentuk indah yang menyenangkan.

1.2 Rumusan Masalah

Pemasalahan ini terjadi karena, masih banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak mengetahui kebudayaan sosial yang ada di daerah Papua. Dan juga masyarakat Indonesia sendiri pun tidak mengerti adat istiadatkebudayaan di daerahnya sendiri. Oleh sebab itu. Dalam makalah ini kita akam membahas lebih mendetail tentang kebudayaan sosial masyarakat Papua dengan banyaknya suku, bahasa dan tradisinya serta juga akan dibahas pula lunturnya kebudayaan Papua di Era Globalisasi. Karena sangat minimnya kesadaran masyarakat Papua tentang pentingnya melaksanakan berbagai kegiatan untuk tetap menjaga dan menstabilkan budaya Papua tersebut.

1.3 Tujuan

Agar kita dapat mengetahui dari kebudayaan dan sosial dari provinsi papua ini. Dan yang lebih menariknya ternyata di daerah Papua ini sangat kaya akan adat istiadat, suku, bahasa dan kebudayaannya yang berbeda-beda pula setiap lingkungan yang mereka tempati. Dengan begitu kita sebagai mahasiswa harus bisa memahami betapa sangat pentingnya budaya dan sosial untuk negara kita. Untuk tetap menjaga, melindungi dan tetap melestarikan warisan kekayaan dari pada leluhur kita haruslah ada tindakan yang diambil supaya budaya tersebut tidak mengalamai kepunahan. Untuk tetap melestarikannya haruslah dibuat berbagai macam kegiatan yang intinya agar memajukan, melestarikan dan mempopulerkan budaya Papua kepada siapapun.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sosial Budaya, Suku dan Adat Istiadat di Papua

Pada daerah-daerah Papua yang bervariasi topografinya terdapat ratusan kelompok etnik dengan budaya dan adat istiadat yang saling berbeda. Dengan mengacu pada perbedaan topografi dan adat istiadatnya maka sacara garis besar penduduk Papua dapat di bedakan menjadi 3 kelompok besar yaitu:

· Penduduk daerah pantai dan kepulauan dengan ciri-ciri umum, rumah diatas tiang (rumah panggung), mata pencharian menokok sagu dan menangkap ikan.

· Penduduk daerah pedalaman yang hidup pada daerah sungai, rawa, Danau dan lembah serta kaki gunung. Pada umumnya bermata pencaharian menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan.

· Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun beternak secara sederhana.

Kelompok asli di Papua terdiri atas 193 suku dengan 193 bahasa yang masing-masing berbeda. Tribal arts yang indah dan telah terkenal di dunia dibuat oleh suku Asmat, Ka moro, Dani dan Sentani. Sumber berbagai kearifan lokal untuk kemanusiaan dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik diantaranya dapat ditemukan di suku Aitinyo, Arfak, Asmat, Agast, Aya maru, Mandacan, Biak, Ami, Sentani dan lain-lain. Umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan dengan menganut garis keturunan ayah (patrilinea). Budaya setempat berasal dari Melanesia. Masyarakat penduduk asli Papua cenderung menggunakan bahasa daerah yang sangat dipengaruhi oleh alam laut, hutan dan pegunungan.

Dalam perilaku sosial terdapat suatu falsafah masyarakat yang sangat unik, misalnya seperti yang ditujukan oleh budaya suku Komoro di Kabupaten Mimika, yang membuat gendering dengan menggunakan darah. Suku Dani di kabupaten Jayawijaya yang gemar melakukan perang-perangan, yang dalam bahasa Dani disebut Win. Budaya ini merupakan warisan turun-temurun dan dijadikan festival budaya Lembah Baliem. Ada juga rumah tradisional Honai, yang di dalamnya terdapat mummy yang diawetkan dengan ramuan tradisional. Terdapat tiga mummy di Wamena; Mummy Aikima berusia 350 tahun, Mummy Jiwika 300 tahun, dan Mummy Pumo berusia 250 tahun. Di suku Marin, Kabupaten Merauke, terdapat upacara Tanam Sasi, sejenis kayu yang dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian upacara kematian. Sasi ditanam 40 hari setelah hari kematian seseorang dan akan dicabut kembali setelah 1.000 hari.

Budaya Suku Asmat mempunyai empat makna dan fungsi, masing-masing;

(1) Melambangkan kehadiran roh nenek moyang;

(2) Untuk menyatakan rasa sedih dan bahagia;

(3) Sebagai suatu lambang kepercayaan dengan motif manusia, hewan, tetumbuhan dan benada-benda lain;

(4) Sebagai lambang keindahan dan gambaran ingatan kepada nenek moyang.

Budaya Suku Imeko di Kabupaten Sorong Selatan menampilkan tarian adat Imeko dengan budaya suku Maybrat dengan tarian adat memperingati hari tertentu seperti panen tebu, memasuki rumah baru dan lainnya.

Hal ini seperti diungkapkan oleh Soerjono Soekanto (1992:43-44) yang mencakup:

(1) Sandang, pangan dan papan;

(2) Keselamatan jiwa dan harta benda;

(3) Kehormatan atau harga diri;

(4) Kesempatan untuk mengembangkan kemampuan diri;

Secara tradisional, tipe pemukiman masyarakat Irian Barat dapat dibagi ke dalam empat kelompok di mana setiap tipe mempunyai corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya tersendiri.
1) Penduduk Pesisir Pantai; Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai Nelayan disamping berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan pemukiman itu. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka.

2) Penduduk Pedalaman yang Mendiami Dataran Rendah; Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan disungai, berburu dihuta disekeliling lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang aliran sungai. Adat Istiadat mereka ketat dan selalu mencurigai pendatang baru.

3) Penduduk Pegunungan Yang Mendiami Lembah; Mereka bercocok tanam, dan memelihara babi sebagai ternak utama, kadang kala mereka berburu dan memetik hasil dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang ramah bila dibandingkan dengan penduduk tipe kedua. Adat istiadat dijalankan secara ketat dengan "Pesta Babi" sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan sosial melalui "Perang Suku" yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Sifat curiga tehadap orang asing ada tetapi tidak seketat penduduk tipe 2 (kedua).

4) Penduduk Pegunungan yang Mendiami Lereng-Lereng Gunung; Melihat kepada tempat pemukimannya yang tetap di lereng-lereng gunung, memberi kesan bahwa mereka ini menempati tempat yang strategis terhadap jangkauan musuh dimana sedini mungkin selalu mendeteksi setiap makhluk hidup yang mendekati pemukimannya. Adat istiadat mereka sangat ketat, sebagian masih "KANIBAL" hingga kini, dan bunuh diri merupakan tindakan terpuji bila melanggar adat karena akan menghindarkan bencana dari seluruh kelompok masyarakatnya. Perang suku merupakan aktivitas untuk pencari keseimbangan sosial, dan curiga pada orang asing cukup tinggi juga.

Bahasa
Di Papua terdapat ratusan bahasa daerah yang berkembang pada kelompok etnik yang ada. Keaneka ragaman bahasa ini telah menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi antara satu kelompok etnik dengan kelompok etnik lainnya. Oleh karena itu bahasa Indonesialah yang digunakan secara umum oleh masyarakat-masyarakat di Papua bahkan sampai dipelosok-pelosok pedalaman. Budaya penduduk Irian yang beraneka ragam lokal itu dapat ditandai oleh jumlah bahasa lokal khususnya di Papua Barat. Bahasa di Irian Barat digolongkan kedalam kelompok bahasa Melanesia dan diklasifikasikan dalam 31 kelompok bahasa yaitu: Tobati, Kuime, Sewan, Kauwerawet, Pauwi, Ambai, Turu, Wondama, Roon, Hatam, Arfak, Karon, Kapaur, Waoisiran, Mimika, Kapauku, Moni, Ingkipulu, Pesechem, Teliformin, Awin, Mandobo, Auyu, Sohur, Boazi, Klader, Komoron, Jap, Marind-Anim, Jenan, dan Serki. Jumlah pemakai bahasa tersebut diatas sangat bervariasi mulai dari puluhan orang sampai puluhan ribu orang.

Agama
Keagamaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Papua dan dalam hal kerukunan antar umat beragama, Papua dapat dijadikan contoh bagi daerah lain. Mayoritas penduduk Papua beragama Kristen, namun demikian sejalan dengan semakin lancarnya transportasi dari dan ke Papua maka jumlah orang yang beragama lain termasuk Islam juga semakin berkembang. Banyak misionaris baik asing maupun Indonesia yang melakukan misi keagamaannya di pedalaman-pedalaman Papua. Mereka memainkan peran penting dalam membantu masyarakat baik melalui sekolah-sekolah misionaris, pengobatan-pengobatan maupun secara langsung mendidik masyarakat pedalamandalam bidang pertanian, mengajar bahasa Indonesia maupun pengetahuan-pengetahuan praktis lainnya. Misionaris juga merupakan pelopor dalam membuka jalur penerbangan ke daerah-daerah pedalaman yang belum terjangkau oleh penerbangan reguler.

2.2 Kondisi Ekologis dan Kebudayaan Masyarakat Papua

Papua ditinjau dari lingkungan alam sangat beranekaragam. MenurutPetocz (1987; 30-37) Lingkungan utama di Papua terdiri dari :

a. Hutan Bakau, terdapat di rawa-rawa berair asin payau. Vegetasi ini

tumbuh di sepanjang cekungan yang landai dan paling berkembang

di daerah yang terlindung dari gamparan gelombang air laut. Hutan

bakau yang paling luas terdapat di muara teluk Bintuni.

b.Rawa, disepanjang pantai selatan, dataran rendah daerah Kepala

Burung dan pantai utara delta Mamberamo ke arah barat sampai

muara teluk Cenderawasih.

c. Hutan basah dataran rendah

d. Zone pegunungan bawah

e. Zone pegunungan atas

f. Zone Alpin

Kategori Petocz di dasarkan pada tinggi daratan diatas permukaan laut. Walker dan Mansoben (1990), telah menggolongkan masyarakat dan kebudayaan Papua dalam tiga kategori, tipe-tipe mata pencaharian yang berkembang di tiga tipe ekologi atau lingkungan alam, yaitu :

· Daerah rawa-rawa, pantai dan banyak sungai

· Daerah kaki bukit dan lembah-lembah kecil

· Daerah dataran tinggi.

Parsudi Suparlan (1994), mengkritik kategori yang dibuat Walker dan Mansoben dengan menyebutkan bahwa apa yang telah dilakukan mereka sebenarnya telah mereduksi keanekaragaman kebudayaan-kebudayaan di Papua ke dalam kategori mata pencaharian dan ekologinya, akan banyak merugikan warga masyarakat Papua. Mata pencaharian bukanlah suatu gejala yang merupakan satuan yang berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan dan didukung oleh pengorganisasian sosial (keluarga, kelompok kekerabatan, keyakinan keagamaan, hak milik dan penguasaan atas tanah dan pohon, kekuasaan dan pertahanan, serta berbagai aspek lainnya).

Selanjutnya Parsudi melihat bahwa kerugian yang dimaksud adalah diabaikannya satuan-satuan budaya yang mendukung kebudayaan ekonomi dari masyarakat setempat. Berdasarkan kategori kebudayaan yang dibuat Walker dan Mansoben ini, oleh Parsudi Suparlan mengusulkan pembagian pola-pola kebudayaan di Papua dalam suatu penggolongan yang lebih luas yaitu :

ö Wilayah pantai dan pulau, yang terdiri atas :

(1) Daerah pantai utara,

(2) Daerah-daerah pulau-pulau Biak-Numfor, Yapen, Waigeo dan

pulau-pulau kecil lainnya,

(3) Daerah pantai selatan yang penuh

dengan daerah berlumpur dan pasang surut serta perbedaan musim

kemarau dan hujan yang tajam.

Wilayah pedalaman yang mencakup :

(1) Daerah sungai-sungai dan

rawa-rawa

(2) Daerah danau dan sekitarnya

(3) Daerah kaki bukit

dan lembah-lembah kecil.

ö Wilayah dataran tinggi, sebagaimana yang dikemukakan olehWalker dan Mansoben. Koentjaraningrat mengelompokkan masyarakat Papua berdasarkan letakgeografis dan mata pencahariannya menjadi tiga yaitu :

a.Penduduk Pantai dan Hilir

Kelompok ini telah mengadakan kontak dengan dunia modern atauluar kurang lebih 100 tahun yang lalu, dan sudah beragama Kristen dan Roma Khatolik. Mereka sudah mengalami pendidikan formal dan kebutuhan hidup tergantung pada pasar dengan sumber alam yang melimpah.

b. Masyarakat Pedalaman

Kelompok-kelompok kecil yang tinggal di sepanjang sungai, di hutan-hutan rimba. mereka adalah peramu yang sering berpindah-pindah tempat tinggal, jumlah penduduknya tidak besar. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah orang-oranng Bauzi , Kerom, Waropen atas, Asmat hulu dan lain-lain

c. Masyarakat Pegunungan Tengah.

Kelompok masyarakat ini terdidri dari beberapa suku bangsa yang tinggal di lembah-lembah, di pengunungan tengah yang terdiri dari pegunungan Mooke, Sudirman. Dalam keadaan sekarang mereka ini pada umumnya tinggal di kebupaten Paniai dan Jayawijaya, jumlah penduduknya cukup padat. Pemeliharaan ternak babi dan pembudidayaan Ubi jalar merupakan kegiatan ekonomi yang maha penting (Giay.B; 1996, 4-5). Sedangkan kalau kategori suku bangsa berdasarkan bahasa maka ada 271 lebih suku bangsa berarti, ada 271 lebih kebudayaan (Indek of Linguage, SIL, 1988, Jayapura) Kategori-kategori ini mempunyai keuntungan tapi juga kerugian terhadap masyarakat. Keuntungannya adalah karena kategori ini bisa mempermudah menganlisis dan membuat rencana-rencana dan program. Kerugiannya adalah kategori ini bisa menjebak saya pada analisis-analisis yang dangkal dan kurang memperhatikan aspek-aspek yang lain. Namun untuk kepentingan ilmu, maka perlu ada klasifikasi-klasifikasi demikian. Saya tidak mau menganut klasifikasi-klasifikasi itu, tetapi orientasi saya bahwa kebudayaan ini berbeda-beda, tetapi untuk mengkategori perbedaanperbedaan itu membutuhkan pekerjaan yang besar. Kebudayaan di Papua menunjukkan corak yang beraneka ragam yang disebut sebagai kebhinekaan masyarakat tardisional Papua.

Dalam kepustakaan Antropologi, Papua dikenal sebagai masyarakat yang terdiri atas suku-suku bangsa dan suku-suku yang beraneka ragam kebudayaannya. Menurut Tim Peneliti Uncen (1991) telah diidentifikasi adanya 44 suku bangsa yang masing-masing merupakan sebuah satuan masyarakat, kebudayaan dan bahasa yang berdiri sendiri. Sebagian besar dari 44 suku bangsa itu terpecah lagi menjadi 177 suku. Menurut Held (1951,1953) dan Van Baal (1954), ciri-ciri yang menonjol dari Papua adalah keanekaragaman kebudayaannya, namun dibalik keanekaragaman tersebut terdapat kesamaan ciri-ciri kebudayaan mereka. Perbedaan-perbedaan kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Papua dapat dilihat perwujudannya dalam bahasa, sistem-sistem komunikasi, kehidupan ekonomi, keagamaan, ungkapan-ungkapan kesenian, struktur politik dan struktur sosial, serta sistem kekerabatan yang dipunyai oleh masing-masing masyarakat tersebut sebagaimana terwujud dalam kehidupan mereka sehari hari Walaupun terdapat keanekaragaman kebudayaan masyarakat di Papua, tetapi diantara mereka itu juga terdapat ciri-cirinya yang umum dan mendasar yang memperlihatkan kesamaan-kesamaan dalam inti kebudayaan atau nilai-nilai budaya mereka. Held mengatakan bahwa kebudayaan orang Papua bersifat longgar. Strukturnya yang longgar itu disebabkan oleh ciriciri orang Papua pada umumnya “Improvisator kebudayaan“, yaitu mengambil alih unsur-unsur kebudayaan dan menyatukannya dengan kebudayaannya sendiri tanpa memikirkan untuk mengintegrasikannya dengan unsur-unsur yang sudah ada dalam kebudayaannya, secara menyeluruh (Parsudi Suparland, 1994). van Baal (1951) mengatakan bahwa ciri utama kebudayaan Papua adalah tidak adanya integrasi yang kuat dari kebudayaan-kebudayaan mereka. Ciri-ciri kebudayaan tersebut muncul karena kebudayaan orang Papua yang rendah tingkat teknologinya dan yang dihadapkan pada lingkungan hidup yang keras sehingga dengan mudah menerima dan mengambil alih suatu unsur kebudayaan lain yang lebih maju atau lebih cocok. Kebudayaan-kebudayaan Papua juga terbentuk atas interaksi diantara masyarakat-masyarakat Papua dan masyarakat di luar Papua. Interaksi dalam kategori yang terakhir diulas panjang lebar oleh Koentjaraningrat (1994). Dalam awal kontak interaksi yang memberi dampak dalam kehidupan penduduk Papua dengan akibat terjadinya perubahan-perubahan kebudayaan mereka adalah kontak interaksi dengan para pedagang yang mencari burung Cenderawasih dan menukarnya dengan kain Timor dan Manik-manik, para penyebar agama Kristen dan Katholik, yang mengkristenkan mereka melalui pendidikan formal dengan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya; Penyebaran teknologi dan penggunaan uang oleh pemerintahan jajahan Belanda di Papua dan kemudian oleh pemerintah Republik Indonesia. Kontak-kontak dengan kebudayaan dari luar telah memungkinkan orang Papua lebih terbuka dari sebelumnya, dan keterbukaan suku bangsa atau suku ini telah dimungkinkan karena ciri-ciri mereka sebagai “Improvisator” (Parsudi Suparlan, 1994).

2.3 Gender Dalam Perspektif Sosial dan Budaya Di Papua

Minat untuk mempelajari gender berkembang pesat dalam dua dasawarsa terakhir. Berbagai konferensi nasional dan internasional telah diselenggarakan dan sejumlah karya tulis juga telah diterbitkan, juga berbagai bentuk forum diskusi lintas pemikiran. Semua membahas masalah-masalah yang amat luas berkaitan dengan gender mulai dari soal agama, politik, ekonomi, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan, dan budaya. Berbagai perspektif tentang gender pun muncul dan menciptakan diskursus yang terus bergulir sepanjang waktu. Gender telah menjadi bahasa yang memasuki setiap analisis sosial dan menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial misalnya dalam kuota legislatif keterlibatan perempuan belum mencapai 30% sebagai dampak dari proses kehidupan sosial yang belum memposisikan peran gender itu sesuai dengan perubahan-perubahan ekonomi politik budaya. serta menjadi topik penting dalam setiap perbincangan pembangunan.

Saparinah Sadli dalam Mudzhar dkk (2001) mengatakan tidak ada lingkungan budaya yang membatasi definisi sosial gender atas adanya perbedaan biologis antarjenis kelamin. Namun karena dalam setiap budaya ada fungsi-fungsi universal yang harus dilaksanakan seperti mengasuh anak, mencari nafkah, mengambil keputusan, mengisi peran sebagai pemimpin, maka ada peran-peran sosial yang kemudian dikaitkan pada gender tertentu. Meskipun hal ini tidak berarti bahwa ada fungsi tertentu yang harus dilakukan oleh perempuan atau laki-laki, tetapi kalau suatu peran sudah dikaitkan dengan salah satu gender maka peran tersebut diberi makna simbolis tertentu. Kemauan politik pemerintah untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang pada dasarnya merupakan sarana untuk kesetaraan hubungan gender masih perlu didukung oleh program-program dan tindakan nyata.

Isu gender sebenarnya merupakan isu yang relatif baru bagi masyarakat sehingga seringkali menimbulkan berbagai penafsiran dan tanggapan yang sering kurang tepat tentang gender. Pemahaman mengenai gender menjadi sesuatu yang sangat penting artinya bagi semua kalangan, baik dalam pemerintahan, swasta, masyarakat maupun keluarga. Melalui pemahaman yang benar mengenai gender diharapkan secara bertahap diskriminasi perlakuan terhadap perempuan dapat diperkecil sehingga perempuan dapat memanfaatkan kesempatan dan peluang yang diberikan untuk berperan lebih besar dalam berbagai aspek kehidupan. Seringkali gender disamaartikan dengan seks, yaitu jenis kelamin laki-laki dan perempuan, sehingga peran dan tanggung jawabnya juga dibedakan sesuai jenis kelamin ini. Padahal konsep gender sesungguhnya merujuk pada ” Peran ” dan bukan pada ” kodratnya” artinya antara laki-laki dan perempuan harus saling mengakui, memiliki kesepakatan dan kesempatan yang sama serta keterlibatannya memiliki ruang dan posisi menurut hak-hak asasinya sebagai pengambil keputusan, baik ruang keluarga, dalam tatanan sosial masyarakat adat maupun birokrasi dan legislatif.

Di Papua, misalnya dalam hal keterlibatan perempuan dan laki-laki memang sangat unik karena jumlah suku banyak sekitar 250 suku dengan nilai-nilai dan prinsip berbudaya. Fakta ini, tentunya sangat mempengaruhi keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam melakukan peran gender itu sendiri. Sehingga tidak bisa dipaksakan untuk mewujudkan nilai-nilai dan prinsip gender ke dalam tatanan nilai dan budaya yang sangat unik seperti di Papua. Sehingga solusi yang mungkin dan perlu dilakukan pemerintah termasuk stakeholder ke depan adalah membangun kesepahaman gender yang dimulai dari kampung. Hal ini dimaksudkan demi memahami nilai-nilai gender dalam tatanan sosial dan budaya masyarakat adat Papua.

2.4 Pola Pengobatan Tradisioanal Orang Papua

Sebagaimana dikemukakan bahwa secara “etik” dan “emik”, dapat diketengahkan konsep sehat dan saklit, namun demikian secara konseptual dapatlah dikemukakan konsep pengobatan secara “etik” dan “emik” berdasarkan pandangan para medis dan masyarakat dengan berlandaskan pada kebudayaan mereka masing-masing. Untuk itu dapat dikemukakan pola pengobatan secara tradisional orang Papua berdasarkan pemahaman kebudayaan mereka yang dikemukakan oleh Djekky R. Djoht (2001: 14-15). Berdasarkan pemahaman kebudayaan orang Papua secara mendalam, dapatlah dianalisis bagaimana cara-cara melakukan pengobatan secara tradisional. Untuk itu telah diklasifikasikan pengobatann tradisional orang Papua kedalam enam (6) pola pengobatan , yaitu:

1. Pola Pengobatan Jimat. Pola pengobatan jimat dikenal oleh masyarakat di daerah kepala burung terutama masyarakat Meibrat dan Aifat. Prinsip pengobatan jimat, menurut Elmberg, adalah orang menggunakan benda-bendakuat atau jimat untuk memberi perlindungan terhadap penyakit. Jimat adalah segala sesuatu yang telah diberi kekuatan gaib, sering berupa tumbuhtumbuhan yang berbau kuat dan berwarna tua.

2. Pola Pengobatan Kesurupan. Pola kesurupan dikenal oleh suku bangsa didaerah sayap burung, yaitu daerah teluk Arguni. Prinsip pengobatan kesurupan menurut van Longhem adalah seorang pengobat sering kemasukan roh/mahluk halus pada waktu berusaha mengobati orang sakit. Dominasi kekuatan gaib dalam pengobatan ini sangat kentara seperti pada pengobatan jimat.

3. Pola Pengobatan Penghisapan Darah. Pola penghisapan darah dikenal oleh suku bangsa yang tinggal disepanjang sungai Tor di daerah Sarmi, Marind-anim, Kimaam, Asmat. Prinsip dari pola pengobatan ini menurut Oosterwal, adalah bahwa penyakit itu terjadi karena darah kotor, maka dengan menghisap darah kotor itu, penyakit dapat disembuhkan. Cara pengobatan penghisapan darah ini dengan membuat insisi dengan pisau, pecahan beling, taring babi pada bagian tubuh yang sakit. Cara lain dengan meletakkan daun oroh dan kapur pada bagian tubuh yang sakit. Dengan lidah dan bibir daun tersebut digosok-gosok sampai timbul cairan merah yang dianggap perdarahan. Pengobatan dengan cara ini khusus pada wanita saja. Prinsip ini sama persis pada masyarakat Jawa seperti kerok.

4. Pola Pengobatan Injak. Pola injak dikenal oleh suku bangsa yang tinggal disepanjang sungai Tor di daerah Sarmi. Prinsip dari pengobatan ini menurut Oosterwal adalah bahwa penyakit itu terjadi karena tubuh kemasukan roh, maka dengan menginjak-injak tubuh si sakit dimulai pada kedua tungkai, dilanjutkan ketubuh sampai akhirnya ke kepala, maka injakan tersebut akan mengeluarkan roh jahat dari dalam tubuh.

5. Pola Pengobatan Pengurutan. Pola pengurutan dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di daerah selatan Merauke yaitu suku bangsa Asmat, dan selatankabupaten Jayapura yaitu suku bangsa Towe. Prinsip dari pola pengobatan ini menurut van Amelsvoort adalah bahwa penyakit itu terjadi karena tubuh kemasukan roh, maka dengan mengurut seluruh tubuh si sakit, maka akan keluar roh jahat dari dalam tubuhnya. Orang Asmat menggunakan lendir dari hidung sebagai minyak untuk pengurutan. Sedangkan pada suku bangsa Towe penyebab penyakit adalah faktor empirik dan magis. Dengan menggunakan daun-daun yang sudah dipilih, umunya baunya menyengat, dipanaskan kemudian diurutkan pada tubuh si sakit.

6. Pola Pengobatan Ukup. Pola ukup dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di selatan kabupaten Jayapura berbatasan dengan kabupaten Jayawijaya yaitu suku bangsa Towe, Ubrup. Prinsip dari pengobatan ini adalah bahwa penyakitterjadi karena tubuh kemasukan roh, hilang keseimbangan tubuh dan jiwa, maka dengan mandi uap dari hasil ramuan daun-daun yang dipanaskan dapat mengeluarkan roh jahat dan penyebab empirik penyakit

Klasifikasi ini bila dikaitkan dengan sistem pengetahuan kesehatan pada orang Papua nampaknya masih banyak berhubungan dengan kategori “supranatural” artinya melihat sehat-sakit karena adanya gangguan dari suatu kekuatan yang bersifat gaib, bisa berupa mahluk gaib atau mahluk halus, atau kekuatan gaib yang berasal dari manusia, terutama pada orang Papua yang masih berada di daerah pedesaan dan pedalaman . Sedangkan untuk orang Papua yang berada di daerah perkotaan kebanyakan sudah memadukan kategori “rasionalistik” yaitu melihat sehat-sakit karena adanya intervensi dari alam, iklim, air, tanah, dan lainnya. dalam menanggulangi masalah kesehatan mereka, walaupun masih ada sebagian kecil yang mamadukan kategori pertama dengan kategori kedua. Bila dikaji secara mendalam bahwa konsep kebudayaan dalam menanggapi masalah kesehatan secara emik, masih dilaksanakan secara baik. Ini berarti orang Papua dengan keanekaragaman kebudayaannya, mempunyai konsepsi kesehatan bervariasi berdasarakan pengelompokkan variasi lingkungan kebudayaannya secara berbeda antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya di Papua.

2.5 Lunturnya Budaya Papua di Era Globalisasi

Berdasarkan tempat hidupnya orang pantai didiami oleh berbagai macam suku beberapa diantaranya adalah (Suku Biak, Suku Serui, Suku Asmat, Suku Sarmi) dan masih banyak lagi. Lain halnya dengan orang pedalama, dari berbagai suku yang mendiami pegunungan beberapa diantaranya adalah (Suku Moni. Suku Dani, Suku Ekari, Suku Nduga, Suku Holani dan masih banyak lagi). Baik suku-suku yang mendiami pesisir pantai maupun suku-suku yang mendiami kawasan pegunungan memiliki ketidaksamaan budaya.

Beberapa hal yang membuat ketidaksamaan budaya mereka adalah karena :

1.Faktor tempat tinggal. Seperti orang pantai hidup di daerah pesisir pantai dan orang pedalaman hidup di daerah dataran pegunungan.

2.Faktor alam seperti orang pantai hidup daerah yang suhunya tidak terlalu dingin sedangkan orang pedalaman hidup di daerah pegunungan yang suhunya sangat dingin. Faktor pangan atau makanan yang dikonsumsi, seperti orang pantai dengan makanan pokok sagu, papeda dan ikan sedangkan orang pedalaman dengan makanan pokok ubi , keladi dan pisang. Walaupun terdapat berbagai perbedaan tetapi tetap membuat mereka bersatu. Dari sekian banyak budaya yang ada dua di antaranya akan dijelaskan pada pembahasan kali ini. Kedua budaya natural inilah yang pada umumnya berkembang dimasyarakat Papua.

1. Budaya tari-tarian

Masyarakat pantai memilki bebagai macam budaya tari-tarian yang biasa mereka sebut dengan istilah Yosim Pancar (YOSPAN), yang di dalamnya terdapat berbagai macam bentuk gerak seperti ; (tari gale-gale, tari balada cendrawasih, tari pacul tiga, tari seka) dan tarian sajojo dan masih banyak lagi. Lain halnya dengan tarian yang biasa dibawakan oleh masyarakat pegunungan yaitu tarian panah dan tarian perang.

Tarian yang dibawakan oleh masyarakat pantai maupun masyarakat pegunungan pada intinya dimainkan atau diperankan dalam berbagai kesempatan yang sama seperti; dalam penyambutan tamu terhormat, dalam penyambutan para turis asing dan yang paling sering dimainkan adalah dalam upacara adat. Khususnya tarian panah biasanya dimainkan atau dibawakan oleh masyarakat pegunungan dalam acara pesta bakar batu atau yang biasa disebut dengan barapen oleh masyarakat pantai.

Dengan budaya tarian Yospan maupun budaya tarian panah yang unik, kaya dan indah tersebut para orang tua sejak dahulu berharap budaya yang telah mereka wariskan kepada generasi berikut tidak luntur, tidak tenggelam dan tidak terkubur oleh berbagai perkembangan zaman yang kian hari kian bertambah maju. Para pendahulu yaitu para orang tua berharap juga budaya tari-tarian yang telah mereka ciptakan dengan berbagai gelombang kesulitan, kesusahan dan keresahan tidak secepat dilupakan oleh generasi berikutnya. Mereka juga berharap dengan tidak adanya mereka budaya Papua yang kaya tersebut semakin maju, semakin dikenal baik oleh orang di kalangan dalam negeri sendiri maupun dikenal di kalangan luar negeri dan juga semakin berkembang kearah yang lebih baik yang intinya dapat tetap mengakat derajat, martabat dan harkat orang Papua.

Namun semua harapan tinggallah harapan karena sebagaimana budaya tarian yang dulunya para orang tua agungkan, sanjung dan hormati telah dilupakan secepatnya oleh para generasi berikutnya. Masuknya berbagai budaya tarian baru dari dunia Barat membuat para putra-putri Papua lupa dengan budaya tari-tarian sesungguhnya yang telah cukup lama mendarah daging dalam kehidupan mereka. Berbagai tarian yang masuk dan berkembang dari dunia Barat yang intinya tarian ini mengarah kepada perkembangan dunia. Membuat para pemuda-pemudi Papua yang dulunya mengagungkan dan memuja tarian daerah mereka lupa diri dan besar kepala. Dengan kesombongan mereka membuat nama mereka termasyur dan terkenal padahal dibalik semua ketenaran mereka dengan nyata-nyata telah melanggar berbagai norma adat yang telah cukup lama diatur dan ditetapkan.

2. Budaya Perkawinan

Perkawinan merupakan kebutuhan yang paling mendesak bagi semua orang. Dengan demikian masyarakat Papua baik yang di daerah pantai maupun di daerah pegunungan menetapkan peraturan itu dalam peraturan adat yang intinya agar masyarakat tidak melanggar dan tidak terjadi berbagai keributan yang tidak diinginkan. Dalam pertukaran perkawinan yang ditetapkan orang tua dari pihak laki-laki berhak membayar mas kawin sebagai tanda pembelian terhadap perempuan atau wanita terebut.

Adapun untuk masyarakat pantai berbagai macam mas kawin yang harus dibayar seperti; membayar piring gantung atau piring belah, gelang, kain timur (khusus untuk orang di daerah selatan Papua) dan masih banyak lagi. Berbeda dengan permintaan yang diminta oleh masyarakat pegunungan di antaranya seperti; kulit bia (sejenis uang yang telah beredar dimasyarakat pegunungan sejak beberapa abad lalu), babi peliharaan, dan lain sebagainya. Dalam pembayaran mas kawin akan terjadi kata sepakat apabila orang tua dari pihak laki-laki memenuhi seluruh permintaan yang diminta oleh orang tua daripada pihak perempuan.

Sama dengan budaya tarian, budaya perkawinan juga diharapkan dapat berkembang dan bertumbuh di masyarakat umum dengan baik dan benar agar tidak terjadi kepunahan budaya. Namun apa yang terjadi pada zaman yang serba modern dan serba teknologi ini masyarakat Papua terlebih khusus para pemuda-pemudi tidak peduli lagi dengan budaya yang telah ditetapkan sejak lama. Budaya perkawinan yang dipopulerkan sampai saat ini adalah budaya kawin lari. Budaya kawin lari adalah salah satu cara yang dilakukan agar pihak dari pada orang tua laki-laki terhindar dari pembayaran mas kawin. Budaya kawin lari adalah budaya kotor yang berasal dari luar Papua. Budaya kawin lari dulunya bukanlah budaya Papua, namun pengaruh era globalsasi yang kian maju dan modern membuat orang Papua melupakan budaya mereka yang sesunguhnya.

Dengan berkembangnya budaya kawin lari di kalangan masyarakat terutama orang Papua sendiri membuat nilai keaslian budaya Papua yang dulunya sangat dihargai dan dihormati telah luntur begitu saja. Kemudian setelah lunturnya budaya tersebut apakah kita orang Papua masih dikatakan sebagai suatu golongan atau kumpulan masyarakat yang masih menghargai, menghormati dan menjunjung tinggi budaya kita. Padahal nyata-nyata budaya dari luar telah megotorinya dengan berbagai budaya yang tidak benar.

Kesadaran masyarakat Papua tentang pentingnya melaksanakan berbagai kegiatan untuk tetap menjaga dan menstabilkan budaya Papua sangat minim. Dan salah satu Kabupaten yang telah menjadi wadah dalam memperkenalkan budaya Papua kepada orang di luar baik kepada para turis maupun kepada para pengunjung adalah Kabupaten Puncak Jaya, tepatnya di daerah Lembah Baliem. Daerah ini punya suatu budaya atau tradisi yang setiap tahunnya harus dilaksanakan secara terus-menerus yaitu budaya perang.

Beberapa yang telah dijelaskan di atas merupakan budaya natural sedangkan pada pembahasan berikut ini akan dijelaskan mengenai budaya terapan. Budaya terapan adalah suatu kebiasaan yang telah lama dilaksanakan dan dilakukan oleh sekelompok orang di suatu tempat yang kemudian menyebar ke suatu daerah yang sama sekali tidak pernah mengenal tentang budaya atau tata cara tersebut. Budaya terapan selalu identik pada tata cara hidup yang telah lama dilakoni dan dijalani. Sama halnya dengan budaya natural budaya terapan juga ada yang baik dan ada juga yang buruk.

Daerah Papua sendiri banyak budaya terapan yang telah merajalela yang semuanya sama sekali tidak pernah dikenalkan oleh para pendahulu terhadap mereka. Dan dengan masuknya berbagai budaya terapan dari luar membuat otak dan pikiran dari pada orang Papua rusak. Dari sekian banyak budaya terapan yang telah merajalela di Papua dua di antaranya adalah budaya korupsi dan budaya minuman keras.

· Budaya Korupsi.

Budaya korupsi adalah salah satu budaya yang telah cukup lama merajalela di Papua. Padahal kalau mau diamati budaya korupsi bukanlah budaya Papua yang sebenarnya. Bukti bahwa budaya korupsi bukan merupakan budaya Papua dapat dilihat dari berbagai cara hidup di antaranya adalah kebiasaan masyarakat Papua makan bersama atau yang biasa disebut dengan acara bakar batu. Saat diadakannya bakar batu biasanya seluruh undangan yang datang diwajibkan untuk menikmati hidangan masakan yang ada tanpa membedakan suku, ras, maupun marganya. Dengan kebersamaan seperti ini dapat terlihat kalau sifat keegoisan tidak terlihat pada orang Papua. Kalau begitu budaya korupsi pada awalnya bukanlah budaya Papua yang sesungguhnya tetapi berbagai budaya terapan dari luar yang masuk sehingga semua itu diikuti dan ditiru oleh orang Papua.

Bukti bahwa korupsi merupakan suatu budaya dari luar yang terpopuler dapat dilihat dari berbagai macam kasus korupsi yang kian hari kian merajalela. Di antaranya adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh Bupati Kabupaten Nabire Drs. Anselmus Petrus Youw yang beberapa saat lalu mendapat berbagai dana bantuan saat terjadi gempa bumi. Sebagaimana dana miliaran rupiah yang diberikan untuk dana pembangunan dilenyapkan begitu saja tanpa sepengetahuan. Kemudian sama halnya dengan dana Otonomi Khusus (OTSUS). Dengan memperhatikan dua bukti kalau Papua telah terjerumus ke dalam budaya korupsi yang sebenarnya tidak boleh dilakukan, menjadi pertanyaan buat kita kia-kira salah siapa sehingga budaya korupsi begitu cepat merajalela ke seluruh daerah Papua. Dengan mudah saya akan menjawab semua itu adalah salah dari pada setiap orang yang melanggarnya dan secara garis besar semua itu salah kita sendiri karena kemauan kita menerima berbagai budaya dari luar.

Melihat berbagai kasus korupsi yang kian hari kian merajalela seiring dengan perkembangan zaman, haruslah ada tindakan sosial yang diambil agar dapat membendung arus korupsi di daerah Papua. Berbagai hal yang dapat kita para pelajar lakukan adalah berdoa dan belajar secara sungguh-sungguh agar ke depannya saat kita menjadi seorang pemimpin kejujuran dan kebenaran dalam kepemimpinan kita dapat ditanamkan.

· Budaya Mengkonsumsi Minuman Keras

Sangat baik kalau kita mengkonsumsi minum-minuman yang dapat memberikan kesehatan dalam kehidupan kita tetapi apa jadinya kalau kita mengkonsumsi berbagai minum-minuman yang mengandung alkohol. Kasus inilah yang telah menjadi budaya dan tradisi di masyarakt Papua. Dulunya minuman yang dianggap minuman keras dan dikonsumsi oleh orang Papua adalah minuman sejenis saguer atau yang biasa mereka sebut dengan minuman bobo. Minuman ini kalau dikonsumsi dapat menggaggu kesehatan namun tidak terlalu berdampak terhadap kesehatan kita.

Tetapi berbeda dengan berbagai minuman keras yang masuk dari luar Papua yang tergolong dalam minuman keras yang dapat mengganggu kesehatan bahkan sampai dapat membuat nyawa seseorang lenyap apabila dikonsumsi terlalu berlebihan. Minuman-minuman keras seperti ini awalnya tidak pernah diketahui oleh orang Papua, namun perkembangan zaman yang kian modern membuat budaya minum khususnya untuk minuman keras telah berkembang luas dikalangan seluruh masyarakat. Bahkan menurut beberapa orang budaya minuman telah dimasukan kedalam layaknya budaya makan-minum di kehidupan sehari-hari.

Bukti kalau budaya minuman keras telah membabi buta di Papua dengan berbagai pengamatan yang betul secara fakta. Seperti kalau diamati khususnya pada malam hari di terminal Taman Gizi terdapat banyak orang berkeliaran sambil mengahabiskan puluhan bahkan ratusan botol minuman, yang mengkonsumsi minuman tersebut bukan saja kaum pria namun ada juga kaum wanita.

Dengan banyaknya tempat-tempat hiburan serta taman untuk para peminum menghabiskan minuman pasti setiap kita akan bertanya apakah tidak ada langkah yang diambil oleh pemerintah maupun para masyarakat agar hal-hal seperti ini tidak membabi buta terus sampai kepada generasi yang berikutnya.

Ada berbagai hal yang dapat kita buat agar budaya minuman tidak merajalela dan berkembang ke masyarakat umum dengan semaunya di antaranya adalah mengkampanyekan anti minuman keras, mensosialisasikan dampak yang dapat ditimbulkan dari mengkonsumsi minuman keras, sosialisasi yang kita lakukan dapat melalu berbagai media seperti media elektronik, media masa dan media lainnya. Selain melakukan kegiatan seperti yang telah disebutkan di atas ada satu cara lagi yang paling ampuh agar budaya mengkonsumsi minuman keras bisa hilang bahkan lenyap, cara itu adalah dengan membuat suatu Peraturan Daerah (PERDA) yang intinya dalam Perda tersebut berisi penolakan minuman keras. Dalam hal ini yang berhak bahkan punya wewenang untuk menetapkan Perda adalah Pemerintah Daerah. Tetapi yang menjadi pertanyaan buat kita kenapa sampai saat ini Perda tentang larangan minuman keras belum diberlakukan.

Oleh sebab itu, banyak hal yang kita lakukan dengan kegiatan yang dapat kita laksanakan untuk tetap menjaga budaya Papua yang kaya, tiga diantaranya adalah dengan menampilkan Festival budaya, pentas seni dan tari yang dalam acara ini dipamerkan atau ditunjukan kepada pihak asing maupun kepada pihak dalam sendiri tentang kekayaan tari-tarian Papua dan yang terakhir menyosialisasikannya melalui berbagai media. Dengan melaksanakan berbagai macam hal diatas sedikit menjadikan budaya Papua tetap berkembang. Untuk tetap menjaga, melindungi dan tetap melestarikan warisan kekayaan dari pada leluhur kita haruslah ada tindakan yang diambil supaya budaya tersebut tidak mengalamai kepunahan. Untuk tetap melestarikannya haruslah dibuat berbagai macam kegiatan yang intinya agar memajukan, melestarikan dan mempopulerkan budaya Papua kepada siapapun.



BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Daerah Papua yang bervariasi topografinya terdapat ratusan kelompok etnik dengan budaya dan adat istiadat yang saling berbeda. Kelompok asli di Papua terdiri atas 193 suku dengan 193 bahasa yang masing-masing berbeda. Ciri atau karakteristik kesenian asli suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa dipengaruhi oleh lingkungan alam dimana kelompok tersebut bermukim dan juga migrasi. Khusus untuk kesenian papua ciri dan karakteristiknya sesuai dengan alam yang ada di Papua. Keagamaan merupakan aspek yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Papua dan dalam hal kerukunan antar umat beragama di sana dapat dijadikan contoh bagi daerah lain, mayoritas penduduknya beragama Kristen, namun jumlah orang yang beragama lain termasuk Islam juga semakin berkembang. Gender di Papua dalam hal keterlibatan perempuan dan laki-laki memang sangat unik karena jumlah suku banyak sekitar 250 suku dengan nilai-nilai dan prinsip berbudaya. Sistem pengetahuan kesehatan pada orang Papua nampaknya masih banyak berhubungan dengan kategori supranatural dan rasionalistik dengan keanekaragaman kebudayaannya, mempunyai konsepsi kesehatan bervariasi. Kesadaran masyarakat Papua tentang pentingnya melaksanakan berbagai kegiatan untuk tetap menjaga dan menstabilkan budaya Papua sangat minim.Dengan Masuknya berbagai budaya dunia barat membuat para putra-putri Papua lupa dengan budaya sesungguhnya yang telah cukup lama mendarah daging dalam kehidupan mereka.

Saran

Penguraian dari pembahasan sosial dan budaya di daerah papua ini, diharapkan khususnya untuk para pemuda-pemudi yang masih di bangku pendidikan agar tetap setia dan rela mempertahankan kebudayaan yang telah dianut dan diterapkan dengan sosial. Kita sebagai orang berpendidikan dan bersosialisasi pasti tahu mana hal yang baik dan mana hal yang jahat, dengan demikian mari kita sama-sama tetap menjaga dan memajukan apabila kita nilai budaya yang kita miliki adalah budaya yang benar kemudian mari kita buang jauh-jauh dan musnahkan apabila budaya yang telah kita anut dan lestarikan sejak lama adalah budaya yang salah dan tidak benar. Bukti besar yang dapat terlihat kalau kita mencintai dan menghormati ciptaan Tuhan adalah menjaga dan melestarikan kebudayaan yang kita miliki.


DAFTAR PUSTAKA

Hary.Sosial Budaya Provinsi Papua(online)

(http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/02/sosial-budaya-provinsi-papua/, diakses 03 Juni 2010)

Antara. Sosial Budaya, Suku Dan Adat Istiadat(online)

(http://web.papua.go.id/content.php/id/48, diakses 03 juli 2010)

Nining.Suryati. Gender Dalam Perspektif Sosial dan Budaya Di Papua(online)

(http://www.vogelkoppapua.org/?page=article.detail&id=16, diakses 03 juni 2010)

0 komentar:

Posting Komentar